Penerjemahan antarbahasa bukan sekadar persoalan tips atau kiat (Hoed, 2004), apalagi sekadar ‘menggantikan’ teks BSu ke dalam teks BSa (Machali, 2000: 14), melainkan lebih menyangkut proses pengalihan antarbahasa yang berbasis pada penerapan teori-teori linguistik. Karena terjemahan merupakan kegiatan yang melibatkan bahasa, Nida (1999: 90) bahkan mengklaim bahwa semua teori-teori terjemahan itu adalah linguistik.
Berdasarkan perkembangan teori linguistik mutakhir, sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan cabang ilmu linguistik yang mendasari penerjemahan yaitu pendekatan struktural, pendekatan sosiolinguistik, dan pendekatan semantik-pragmatik (lih. Arimi, 2002; 2007). Arah dan tujuan ketiga tataran teoritis ini umumnya berkontribusi pada sasaran pengalihan makna yang sepadan (equivalent) antara teks sumber dan teks sasaran. Pendekatan struktural menyumbang konsepsi makna gramatikal berdasarkan pemahaman dan penerapan ciri tipologis (atau sintaksis) kedua bahasa (BSu-BSa) dan pola urutan (gramatika) dalam teks, sementara pendekatan sosiolinguistik menyumbang makna kontekstual berdasarkan pengertian hubungan antara teks dan unsur-unsur sosial budaya yang mempengaruhinya, sedangkan pendekatan semantik-pragmatik menyumbang maksud penutur/penulis (writer/speaker’s meanings) menurut situasi yang membangun kemunculan sebuah teks. Ketiga macam makna yang tergolong dalam ranah linguistik (makna pertama) dan ranah ekstralinguistik (makna dua terakhir) ini diasumsikan mengkonstruksi makna teks secara utuh.
Tulisan ini akan mendeskripsikan kesepadanan makna yang dibangun oleh konstruksi aktif dalam teks BInd ke dalam makna berkonstruksi pasif dalam teks BIng. Rentang makna gramatikal, kontekstual dan situasional (bergantung penutur/penulis) seperti disebutkan di atas akan terlibat dalam memecahkan pokok masalah aktif-pasif yang cenderung menyangkut sudut pandang atau perspektif dalam kedua bahasa ini. Dalam pada itu, ada dua masalah yang penting untuk dipecahkan, yaitu pertama, apa penyebab yang bersifat linguistik atau ekstralinguistik yang dapat mendasari pemindahan makna aktif ke pasif; dan kedua, kapan keputusan bentuk aktif (BInd) boleh atau harus diterjemahkan ke pasif (BIng).
Kajian penerjemahan konstruksi aktif versus pasif ini berangkat dari asumsi bahwa menerjemahkan bentuk pasif BInd ke dalam bentuk aktif BIng dipandang suatu yang lazim karena ciri BInd memang didominasi bentuk pasif dan ciri BIng didominasi bentuk aktif. Sejalan dengan asumsi ini, Dardjowidjojo (1983: 240) mengemukakan pendapatnya perihal jalan pikiran penutur BInd yang cenderung tidak eksplisit dan tidak langsung karena pemakaian bentuk pasif yang luar biasa banyaknya, meskipun ada padanan bentuk aktif yang dapat dipakai. Sebaliknya, dalam tulisan ini akan dilihat fenomena konstruksi BInd yang berbentuk aktif justru dialihkan ke dalam konstruksi BIng berbentuk pasif. Isu yang terkesan tidak lazim ini menarik dan cukup menantang untuk diamati. Pertanyaannya adalah mengapa BIng justru memasifkan konstruksi aktif BInd tersebut.